Pengobatan Tionghoa

 



Penelitian ini mengkaji Lauya dalam praktik pengobatan alternatif di kalangan komunitas etnis 

Tionghoa di Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten tinombala  Raya, lasungai  Barat. 

Lauya, sebagai bagian integral dari pengobatan tradisional Tionghoa memegang peran penting 

dalam praktik penyembuhan non-konvensional. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan 

menganalisis peran serta pengaruh Lauya dalam kehidupan sehari-hari komunitas Tionghoa di 

wilayah tersebut, khususnya dalam konteks kesehatan dan penyembuhan merujuk pada konsep 

Health Belief. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik wawancara 

mendalam dan observasi partisipatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lauya masih 

memiliki posisi yang signifikan dalam praktik pengobatan alternatif di kalangan etnis Tionghoa 

di lokasi studi. Keberlanjutan tradisi ini didorong oleh keterikatan budaya yang kuat serta keyakinan akan efektivitasnya, yang dapat dipahami melalui dimensi health belief model, yaitu 

persepsi kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat, dan pemicu tindakan. Selain 

berfungsi sebagai metode penyembuhan, Lauya juga menjadi simbol identitas budaya yang 

memperkuat solidaritas dalam komunitas TionghoaIndonesia merupakan negara dengan tingkat heterogenitas budaya yang tinggi. 

Keragaman ini tercermin dalam keberadaan berbagai etnis, bahasa, agama, serta tradisi 

lokal yang menyebar di seluruh wilayah nusantara. Keanekaragaman ini membentuk 

struktur sosial yang kompleks, namun warga  Indonesia mampu membangun 

kohesi sosial melalui mekanisme budaya dan politik yang mendukung interaksi dinamis 

antaridentitas kolektif, tanpa menghapus ciri khas masing-masing kelompok (Geertz, 

1960). Di antara wilayah yang mencerminkan kompleksitas tersebut, Pulau lasungai  

menjadi salah satu contoh yang menarik. Penduduk lasungai  terdiri dari aneka suku 

bangsa dengan perbedaan warna kulit, bentuk mata, dan ukuran postur tubuh. Dalam 

konteks sosial, mereka umumnya diklasifikasikan menjadi kelompok pribumi asli, 

pendatang dari berbagai wilayah Nusantara, serta komunitas Tionghoa dan migran 

antarbenua (Ode, 2013). 

Keragaman ini melahirkan sistem kepercayaan dan praktik budaya yang sangat 

kaya, termasuk dalam hal pemaknaan terhadap penyakit dan metode pengobatannya. 

Berbagai kelompok etnis di Indonesia memiliki cara pandang tersendiri terhadap 

penyakit dan penyembuhan. Banyak warga  yang hingga kini masih mengandalkan 

metode pengobatan tradisional yang berakar dari nilai-nilai spiritual dan sistem 

kepercayaan kolektif (Ariyanti et al., 2020; Nugroho, 2024; Sariani et al., 2023).

Salah satu bentuk pengobatan tradisional tersebut adalah praktik yang dilakukan 

oleh Lauya, yakni sebutan bagi seseorang yang dianggap memiliki kemampuan 

menyembuhkan penyakit. Lauya merupakan penyembuh yang dipercaya oleh 

warga  etnis Tionghoa. Lauya berasal dari tradisi Kong Hu Cu yang menyebar di 

kalangan warga  Tionghoa di lasungai  Barat, dengan makna “Lao-Nyin” atau 

orang yang dituakan. Lauya dipercaya mampu mengusir roh jahat dan penyakit serta 

membawa keberuntungan melalui berbagai ritual. Kepercayaan warga  terhadap 

Lauya tidak hanya bertahan di desa, tetapi juga dijumpai dalam konteks perkotaan, 

menandakan kelangsungan dan adaptasi praktik ini dalam dinamika sosial modern 

(Humaedi, 2016). Lauyabahkan diyakini sudah ada berabad-abad lalu dan menjadi bagian integral kehidupan warga  Tionghoa termasuk yang berada di area

Kecamatan Sungai Raya, tinombala  Raya, lasungai  Barat.

Praktik serupa dengan Lauya juga lumrah ditemukan pada etnis lainnya di 

Indonesia, seperti Baliant dalam warga  Dayak yang menjalankan penyembuhan 

dengan pendekatan spiritual dan ritualistik (Asmawati & Hartati, 2018; Widaty et al., 

2021), Dukun di Jawa yang menangani persalinan dan gangguan tubuh dengan 

campuran doa serta jamu (Fatmawati et al., 2020; Kurniati & Muflihah, 2021), dan Sanro

pada Etnis Bugis-Makassar yang diyakini meracik obat herbal sekaligus menjalankan 

peran sosial-keagamaan (Saleh, 2019; Zainal et al., 2022) Ketiga contoh tersebut 

memperlihatkan bahwa pengobatan non-medis bukan sekadar bentuk layanan 

kesehatan alternatif, melainkan merupakan sistem pengetahuan yang melekat pada 

struktur budaya warga .

Pada dasarnya sistem pengobatan dalam warga  memang tidak monolitik. 

Foster dan Anderson (1986) membedakan dua jenis metode pengobatan yaitu sistem 

pengobatan modern dan tradisional. Keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda 

dalam memahami dan menangani penyakit. Pengobatan modern berfokus pada aspek 

ilmiah dan teknologi, sedangkan pengobatan tradisional banyak berkaitan dengan 

sistem nilai, kepercayaan, dan praktik turun-temurun. David (dalam Humaedi, 2016) 

menambahkan bahwa pengobatan tradisional seringkali terkait dengan unsur mistis 

dan takhayul. Meskipun demikian, praktik tersebut merupakan bentuk pengetahuan 

lokal yang kaya dengan filosofi dan nilai yang relevan bagi komunitasnya. 

Bahkan, secara nasional, pengobatan tradisional diakui sebagai bagian dari sistem 

kesehatan oleh pemerintah, meskipun posisinya sering kali marginal dalam kebijakan 

kesehatan yang didominasi paradigma biomedis (Putra et al., 2019; Sonjaya, 2022). Oleh 

sebab itu, penggalian dan dokumentasi praktik seperti Lauya penting untuk 

memperkaya pemahaman tentang keberagaman sistem pengobatan di Indonesia serta 

kontribusinya dalam pembangunan kesehatan warga .

Namun demikian, kajian mengenai Lauya sebagai bagian dari sistem pengobatan 

tradisional di Indonesia, khususnya di wilayah lasungai  Barat, masih sangat terbatas. 

Sebagian besar studi terdahulu lebih banyak menyoroti praktik pengobatan oleh dukun 

atau tabib secara umum, sehingga bentuk-bentuk lokal yang lebih spesifik seperti Lauya 

belum banyak mendapat perhatian akademik. Padahal, Lauya memiliki ciri khas yang 

mencerminkan struktur pengetahuan, relasi sosial, dan nilai budaya yang hidup dalam 

warga  Etnis Tionghoa. Kurangnya dokumentasi mengenai praktik, persepsi, dan 

keberlangsungan peran Lauya dalam warga  kontemporer menunjukkan adanya 

ruang kosong dalam kajian antropologi kesehatan yang berpotensi menghambat 

pemahaman menyeluruh tentang keragaman sistem pengobatan tradisional di 

Indonesia. Kajian ini menjadi sangat penting tidak hanya untuk mengisi kekosongan 

literatur, tetapi juga untuk memberikan kontribusi pada pelestarian pengetahuan lokal 

yang terancam punah dan mendukung pembangunan kebijakan kesehatan yang 

inklusif dan berbudaya. Penelitian ini bertujuan mengisi kekosongan tersebut dengan 

mengeksplorasi sistem pengobatan Lauya di Desa Parit Baru serta memahami peran dan 

dinamika eksistensinya dalam konteks kehidupan warga  lokal, sehingga dapat 

menjadi referensi bagi pengembangan antropologi kesehatan dan strategi penguatan Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kualitatif. 

Pendekatan ini dipilih karena sesuai untuk memahami makna sosial dan kultural dari 

praktik pengobatan tradisional oleh Lauya dalam kehidupan warga  etnis Tionghoa 

di Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten tinombala  Raya. Penelitian kualitatif 

memungkinkan peneliti menggali pengalaman dan pandangan informan secara 

mendalam, terutama ketika yang dikaji berkaitan dengan sistem pengetahuan lokal, 

praktik spiritual, dan kepercayaan kolektif yang hidup dalam komunitas.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Parit Baru yang secara administratif termasuk

dalam wilayah Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten tinombala  Raya, lasungai  Barat. 

Lokasi ini dipilih berdasarkan karakteristik warga nya yang terdiri atas komunitas 

etnis Tionghoa dengan tradisi pengobatan yang masih dijalankan secara turun-temurun. 

Penelitian lapangan berlangsung pada bulan Mei 2023, dengan fokus pada interaksi 

sosial dan aktivitas penyembuhan yang dilakukan oleh Lauya di lingkungan tempat 

tinggalnya.

Pengumpulan data dilakukan melalui data primer dan sekunder. Data primer 

diperoleh melalui observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan mengamati 

langsung praktik Lauya di lapangan, mencermati interaksi antara penyembuh dan 

pasien, serta memperhatikan konteks sosial dan simbolik yang muncul selama praktik 

berlangsung. Wawancara dilakukan dengan informan yang dipilih secara purposive 

sampling, yaitu individu yang dianggap memiliki pengetahuan, pengalaman, atau 

keterlibatan langsung dalam praktik pengobatan tersebut. Informan meliputi Lauya , 

pasien, keluarga pasien, dan warga sekitar yang memahami praktik penyembuhan 

tersebut dalam keseharian mereka.

Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber tertulis yang relevan. Bahan yang 

digunakan meliputi catatan dari instansi setempat, dokumen yang ditemukan di lokasi 

penelitian, serta literatur akademik yang membahas pengobatan tradisional, 

antropologi kesehatan, dan kebudayaan warga  Tionghoa. Sumber-sumber tersebut 

digunakan untuk memperkuat pemahaman konteks dan mendukung interpretasi atas 

data lapangan.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis tematik. 

Setelah seluruh hasil wawancara ditranskripsi dan catatan observasi dirapikan, peneliti 

melakukan proses pengkodean untuk menandai bagian-bagian penting dari data. Proses 

ini dilanjutkan dengan mengelompokkan informasi ke dalam tema-tema utama yang 

berkaitan dengan praktik pengobatan, struktur makna yang diyakini warga , serta 

kedudukan sosial Lauya dalam komunitas. Penafsiran dilakukan secara kontekstual 

dengan memperhatikan hubungan antar tema yang muncul dari data., peneliti 

melakukan triangulasi dengan membandingkan data hasil observasi, wawancara, dan 

sumber sekunder yang telah dikumpulkan dengan tujuan menjaga konsistensi dan 

akurasi temuanEksistensi Lauya sebagai penyembuh tradisional dalam komunitas etnis Tionghoa 

di lasungai  Barat tidak lepas dari pola keyakinan warga  terhadap kesehatan, 

penyakit, dan proses penyembuhan. Oleh karena itu, memahami bagaimana keyakinan 

tersebut menopang keberlanjutan praktik Lauya, teori Health Belief Model oleh 

Rosenstock (1988) digunakan sebagai pisau analisis. Teori ini menyoroti dimensi￾dimensi persepsi yang memengaruhi tindakan individu atau kelompok dalam 

merespons ancaman kesehatan, yang meliputi keyakinan akan kerentanan terhadap 

penyakit (Perceived susceptibility), tingkat keparahan dampaknya (Perceived Severity), 

nilai manfaat dari tindakan penyembuhan (Perceived benefits), serta pemicu tindakan 

(cues to action). Keempat unsur ini berperan dalam menjelaskan bagaimana warga  

terus memelihara dan mempraktikkan sistem pengobatan tradisional berbasis spiritual 

seperti Lauya.

1) Perceived Suspectbility

Perceived susceptibility adalah keyakinan seseorang individu atau seseorang 

dipercayainya, bahwa penyakit yang dideritanya merupakan sebuah akibat dari suatu 

perilaku tertentu. Perceived susceptibility memiliki arti yaitu sebagai suatu rasa rentan 

atau kerentanan yang merujuk pada suatu kemungkinan dimana seseorang dapat 

terkena suatu penyakit. Perceived susceptibility dikaitkan dalam konteks tradisi dan 

budaya tradisional, merujuk pada cara pandang individu atau warga  tentang 

seberapa rentan mereka terhadap ancaman atau bahaya tertentu berdasarkan 

kepercayaan, nilai, dan praktik yang dianut secara turun- temurun. Dalam banyak 

budaya tradisional, konsep ini seringkali berkaitan dengan keyakinan spiritual, mitos, 

atau tradisi lisan yang telah menjadi bagian menyeluruh dari kehidupan sehari-hari.

Dalam budaya kami orang Tionghoa dan terutama orang Kong Hu Cu, sangat 

mempengaruhi pandangan kami tentang kesehatan. Salah satu konsep utama 

adalah keseimbangan Yin dan Yang, serta keseimbangan antara lima elemen (air, 

api, kayu, logam, dan tanah). Kesehatan dipandang sebagai hasil dari keseimbangan 

yang baik antara elemen-elemen ini dalam tubuh. Jika ada ketidakseimbangan, 

maka tubuh menjadi rentan terhadap penyakit.

1

Tidak jauh berbeda dengan penyataan Aliang, dalam wawancara Bersama Acin

seperti:

Menurut saya, kerentanan terhadap penyakit sangat dipengaruhi oleh tradisi dan 

budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Ada beberapa hal yang 

saya ingin sampaikan mengenai bagaimana budaya kami membentuk cara kita 

melihat suatu penyakit. Pertama kita hidup dalam lingkungan yang bisa dikatakan 

modern, meskipun begitu kita, tak bisa lepas dari suatu tradisi yang ada, dimana 

tradisi tersebut menjadi patokan bagi hidup kita. Kedua,banyak dari kita, orang 

tionghoa masih terikat kepada suatu kepercayaan tentang adanya hal hal mistis 

yang tak kasat mata.

2

Selanjutnya peneliti mewawancarai warga  sebagai pasien yang pernah, akan, dan sedang melakukan pengobatan dengan menggunakan jasa seorang Lauya, sebagai 

berikut:

Sebagai seseorang yang tumbuh dan hidup di daerah yang cukup modern, saya 

mengambil pengalaman dalam keluarga saya. Dalam keluarga saya masih 

memegang erat tradisi serta budaya tionghoa, dimana dengan itu secara tak 

langsung berpengaruh kepada saya pribadi dalam memandang soal penyakit.

3

Berikutnya peneliti bertanya kepada sepasang suami istri, bernama Akka dan 

Yenni, sebagai berikut: 

Tentunya dik, namanya kepercayaan itu adalah sesuatu yang begitu sangat sakral 

bagi kami, karena ada beberapa hal yang kita tidak ketahui sebagai nyin (manusia). 

Di alam kita selalu hidup berdampingan dengan segala macam mahluk dari 

tumbuhan ke binatang, dari binatang sampai ke manusia, dari yang nampak sampai 

yang tidak nampak (mun/mahluk astral). Terkadang kita sebagai manusia yang 

nampak, secara tidak sengaja menginjak rumah mereka ataupun badan mereka.

4

(Tn. Akka). lalu  di sambut oleh (Ny. Yenni), maksudnya begini dik, kita tidak 

bisa menolak bahwa pada kenyataannya ini sudah jaman modern, rumah sakit ada 

bergelimpangan di sana-sini, namun ada beberapa hal yang membuat kita tetap ke 

Lauya, selain karena kita sedari kecil sudah dikenali dengan hal seperti ini, kita 

masih memegang teguh kepercayaan, dimana dalam kepercayaan serta budaya 

yang kita pegang teguh, membuat kita tidak bertanya lagi pada diri sendiri, karena 

rasa yakin inilah.

5Dari hasil wawancara mengenai bagaimana bagaimana budaya serta tradisi 

mempengaruhi cara pandang mereka tentang suatu penyakit, peneliti mendapatkan 

kesimpulan beberapa hal. Dalam konteks tradisi dan budaya tradisional, merujuk pada 

persepsi individu atau warga  tentang seberapa rentan mereka terhadap ancaman 

atau bahaya tertentu berdasarkan kepercayaan, nilai, dan praktik yang dianut secara 

turun-temurun. Dalam banyak budaya tradisional, konsep ini seringkali terkait dengan 

keyakinan spiritual, mitos, atau tradisi lisan yang telah menjadi bagian yang tertanam dari kehidupan sehari-hari. Dalam budaya-budaya yang mendasarkan kepercayaan 

mereka pada warisan nenek moyang, seperti banyak budaya pribumi di lasungai  

Barat, Perceived susceptibility tercermin dalam cerita-cerita tentang penyakit, bencana 

alam, atau roh jahat yang mengancam kelangsungan hidup mereka. Persepsi ini dapat 

tercermin dalam upacara keagamaan, pengorbanan, atau praktik penyembuhan 

tradisional yang dimaksudkan untuk melindungi diri dari ancaman tersebut.

2) Perceived Severity

Perceived Severity adalah kepercayaan individu yang bersifat subyektif tentang 

penyebaran suatu penyakit. Penyebab utamanya adalah perilaku atau kepercayaan 

tentang seberapa berbahayanya penyakit sehingga seseorang terhindar dari sumber 

penyakit. Dalam konteks tradisi dan budaya Perceived Severity atau tingkat keparahan 

mencerminkan pemahaman yang kompleks dan mendalam tentang penyakit, 

kesehatan, dan kesejahteraan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek budaya, sosial, 

spiritual, dan historis yang membentuk bagaimana individu dan komunitas budaya 

menilai dan merespons penyakit.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti mewawancarai narasumber yang terdiri dari 

Lauya dan beberapa warga  yg relevan untuk memberikan tanggapan tentang 

bagaimana komunitas budaya memandang konsekuensi jangka panjang dari penyakit, 

sebagai berikut:

Sebagai orang Tionghoa, saya pribadi memiliki pandangan mengenai konsekuensi 

jangka panjang dari suatu penyakit. Dalam budaya Tionghoa, ada namanya 

penyakit karma, dimana penderita ini terkena semacam kesialan karena perbuatan 

nya dimasa kehidupan lampau, ataupun karena perbuatan nya semasa hidup di 

dunia yang sekarang. Konsekuensi jangka panjang dari penyakit ini sering kali 

membuat menderita, dan tugas seorang Lauya adalah mengobati orang yang seperti 

ini. takutnya kalau dibiarkan terlalu lama akan makin parah dan biasanya orang 

orang seperti itu akan (siaw nang) mengalami gangguan jiwa.

6

Selanjutnya hasil wawancara dengan Acin mengenai bagaimana narasumber 

komunitas budaya memandang konsekuensi jangka panjang dari penyakit, sebagai 

berikut:

Budaya Tionghoa memiliki warisan pengobatan tradisional yang sangat banyak, 

seperti penggunaan obat obatan herbal dan tu’ ciam (akupunktur). Namun, ada 

beberapa penyakit yang sulit diatasi dengan pengobatan ini, dan ini sering kali 

dipandang lebih serius. Dan biasanya kami langsung beralih ke Lauya untuk 

berkonsultasi, takutnya kita ada tekena pengaruh dari ‘Kui’(Jin/mahluk astral), jika 

dibiarkan terlalu lama, takutnya energi tubuh dalam badan kita habis terhisap 

olehnya, dan terkadang itu bisa sampai membuat kita hilang kesadaran ntah itu gila 

bahkan sampai kehilangan nyawa.

7

Dari hasil wawancara bersama Acin peneliti mendapatkan bahwa banyak metode 

pengobatan komunitas Tionghoa, dari metode herbal maupun akupuntur, namun faktor 

spiritual juga tak dapat dihilangkan dalam budaya serta tradisi mereka. Dimana hal hal yang menyangkut tentang klinik tetap diklasifikasikan menjadi salah satu sumber sakit 

dan penyakit.

Selanjutnya penulis mewawancarai willy sebagai pasien yang pernah melakukan 

pengobatan dengan menggunakan jasa seorang Lauya, sebagai berikut:

Dalam keluarga saya dari kakek sampai ke saya, mempercayai bahwa suatu 

penyakit pasti ada suatu penyebab, seperti saya sekarang “kiok thung” (kaki 

besi/sakit kaki yang di akibatkan oleh mahluk halus). Saya sudah mencoba 

melakukan pemeriksaan ke rumah sakit sebelumnya, namun hasil pemeriksaan 

mengatakan bahwa saya sehat dan tidak menderita sakit apapun. Saya juga sempat 

bingung dengan sakit ini, setelah salah satu orang dalam keluarga saya menyuruh 

untuk pergi ke seorang Lauya untuk berkonsultasi, menurut cerita salah satu dari 

keluarga saya sakit yang seperti saya ini sangat berbahaya karena takutnya sakit ini 

tidak kunjung sembuh dan bahkan nyawa saya bisa jadi taruhan nya. Segera lah 

saya ke Lauya, dan benar saja saya mendapatkan bahwa saya terkena “kiok thung”, 

dan syukur saja saya cepat membawa ke seorang Lauya, kalau tidak sakit ini 

mungkin juga akan memakan seluruh tubuh saya.8

Berikutnya peneliti mewawancarai Akka dan Yenni tentang bagaimana budaya 

mereka memandang konsekuensi jangka panjang dari sebuah penyakit.

Ya, tentu saja tradisi dalam keluarga saya memandang serius tentang suatu 

penyakit. Dalam budaya kami, keluarga adalah inti dari segala hal kehidupan. 

Penyakit jangka panjang tidak hanya mempengaruhi yang sakit tetapi juga seluruh 

keluarga kalau adapun efek jangka panjang dari suatu penyakit.

9

Saya dan suami saya adalah seorang pedagang di pasar Flamboyan di situ kami 

membuka lapak kecil-kecilan. Nah saya sudah lebih dari tujuh tahun saya berjualan, 

namun baru kali ini. Saya dan suami mengeluh karena hasil penjualan kami 

menurun, saya bingung kok bisa begini, setelahnya saya mendapatkan usulan dari 

teman saya, saya disuruh untuk pergi bertanya kepada seorang Lauya. Dua atau tiga 

hari setelahnya saya dan suami saya berinisiatif untuk pergi kesana, saat sesudah 

sampai disana saya disuruh untuk “pai-pai” (berdoa), setelah itu saya konsultasi 

dengan seorang Lauya, di situ saya diberitahukan bahwa saya dan suami saya 

rupanya lupa melakukan izin kepada dewa dan leluhur tuk membuka cabang, 

sehingga rejeki kami ditutup oleh langit. Kalau dalam bahasa di sini mungkin bisa 

kita sebut dengan ‘sue’ (kesialan).

10

Dari penjelasan di atas seperti poin Perceived Severity dalam Health belief, dapat 

dikaitkan dengan pola tradisi Tionghoa, dimana mencerminkan pemahaman tentang 

penyakit, kesehatan, dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek budaya, sosial, 

spiritual, yang membentuk bagaimana individu dan komunitas budaya menilai dan 

merespons penyakit. Pandangan ini mencerminkan pemahaman holistik tentang 

kesehatan. Melalui perspektif ini, kita dapat melihat bagaimana budaya dan tradisi 

Tionghoa memberikan kerangka yang kaya dan kompleks untuk memahami Perceived 

Severity dalam konteks tradisi kesehatan. Kepercayaan dan nilai religius juga dapat 

mempengaruhi persepsi seorang individu terhadap parahnya suatu sakit yang dideritanya. Dalam tradisi orang Tionghoa, penyakit dipandang sebagai ujian spiritual

atau hukuman ilahi, yang menambah dimensi moral dan spiritual pada persepsi 

keparahan. Misalnya, dalam beberapa tradisi, penyakit yang dianggap sebagai akibat 

dari gangguan roh mungkin dipandang lebih serius karena memerlukan campur tangan 

spiritual selain perawatan medis.

Pengalaman pribadi dengan penyakit atau melihat orang lain di sekitar mereka 

mengalami penyakit juga mempengaruhi cara mereka memandang tentang seberapa 

parahnya tingkat penyakit. Seseorang yang telah melihat anggota keluarga menderita 

penyakit memiliki persepsi keparahan yang lebih tinggi terhadap penyakit tersebut. 

Selain itu, narasi kolektif dalam komunitas tentang penyakit tertentu juga dapat 

mempengaruhi bagaimana penyakit tersebut dipandang.

3) Perceived Benefit

Perceived benefit, atau manfaat yang dirasakan, adalah konsep penting yang 

mempengaruhi bagaimana individu dan komunitas memandang dan menilai berbagai 

praktik budaya dan tradisi. Dalam konteks budaya dan tradisi, perceived benefit

mencakup berbagai aspek seperti kesehatan, kesejahteraan emosional, hubungan sosial, 

dan identitas budaya. Dalam berbagai budaya di dunia, pengobatan tradisional sering 

kali terkait erat dengan kepercayaan terhadap makhluk astral atau entitas spiritual. 

Manfaat yang dirasakan dari praktik-praktik ini tidak hanya mencakup penyembuhan 

fisik, tetapi juga kesejahteraan mental, emosional, dan spiritual. Kepercayaan ini 

memainkan peran penting dalam memperkuat efek positif dari pengobatan tradisional 

dan menciptakan rasa keterhubungan yang lebih dalam dengan dunia yang tidak 

terlihat. Menurut Maxwell Maltz (2019) citra diri dibentuk oleh pengalaman masa lalu

seseorang, keberhasilan dan kegagalan, pengetahuan yang dimilikinya, dan bagaimana

orang lain menilai dirinya secara objektif.

Berikut wawancara bersama Aliang, Lauya terkait bagaimana hasil yang di dapati 

setelah melakukan pengobatan.

Sebagai seorang Lauya yang terhubung erat dengan kepercayaan terhadap leluhur.

Setiap sesi pengobatan tradisional merupakan pengalaman yang mendalam dan 

penuh makna bagi saya. Sebelum memulai proses penyembuhan, saya merenung 

dan mengambil waktu untuk mempersiapkan diri secara spiritual. Ketika pasien 

datang kepada saya dengan masalah kesehatan mereka, saya tidak hanya melihat 

gejala fisik, tetapi juga mencoba merasakan energi dan keadaan spiritual mereka. 

Saya mendengarkan cerita mereka dengan teliti, mencari petunjuk dari leluhur 

tentang akar masalah yang mendasari. Setelah sesi pengobatan selesai, saya merasa 

campur aduk antara kelelahan dan kepuasan yang mendalam. Saya tahu bahwa 

saya telah memberikan segala yang terbaik untuk membantu orang yang berobat 

dengan saya, dan saya pribadi merasa terhormat atas kepercayaan yang mereka 

berikan kepada saya.

11

Dari hasil wawancara dengan Aliang diperoleh beberapa simpulan. Pertama, 

hasil wawancara tersebut mencerminkan praktik pengobatan tradisional yang berakar 

dalam kepercayaan terhadap dunia yang tak tampak. Dalam banyak budaya sungai   Barat, terutama pada warga  yang memiliki tradisi spiritual yang kuat 

seperti komunitas Tionghoa, praktik pengobatan sering kali dihubungkan dengan 

keyakinan terhadap kekuatan supranatural, seperti roh leluhur, entitas alam, atau 

mahluk astral.

Kedua, hasil wawancara tersebut menyoroti peran dari seorang Lauya atau tabib 

tradisional dalam warga  yang menghargai warisan budaya dan tradisi spiritual. 

Lauya atau tabib tradisional sering kali dihormati sebagai perantara antara dunia fisik 

dan spiritual, dan praktik mereka memegang peran penting dalam menjaga 

keseimbangan dan kesejahteraan komunitas. Dalam banyak budaya, pengobatan 

tradisional tidak hanya dianggap sebagai cara untuk menyembuhkan penyakit fisik, 

tetapi juga sebagai cara untuk memelihara hubungan dengan leluhur, alam, dan entitas 

spiritual lainnya.

Berikutnya peneliti mewawancarai Acin sebagai Lauya dan menanyakan tentang 

bagaimana hasil yang didapati setelah melakukan pengobatan, sebagai berikut:

Sebagai seorang Lauya dalam tradisi Tionghoa, hampir setiap hari saya dipanggil 

untuk membantu orang-orang yang percaya bahwa mereka telah terkena sue

‘kesialan’, sebuah konsep yang sangat berakar dalam budaya dan kepercayaan 

Tionghoa. Kesialan ini sering dianggap sebagai gangguan energi negatif yang bisa 

datang dari berbagai sumber, seperti roh jahat, feng shui yang buruk, atau 

pelanggaran terhadap aturan-aturan spiritual tertentu. Pengalaman membantu 

mengusir ‘sue’ kesialan tidak hanya memberikan kepuasan pribadi, tetapi juga 

memperkuat keyakinan saya dalam tradisi dan praktik penyembuhan yang telah 

diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui kerja keras dan kepercayaan, saya 

tahu bahwa saya bisa membantu orang lain menemukan keseimbangan dan 

kebahagiaan dalam hidup mereka”. 12

Peneliti dapat menyimpulkan bahwa perceived benefits dalam praktik pengobatan 

tradisional, bagaimana manfaat yang dirasakan oleh pasien memainkan peran penting 

dalam efektivitas dan penerimaan metode penyembuhan tersebut.

Dalam konteks hasil wawancara dengan seorang Lauya tentang seorang yang 

mengobati pasien dengan penyakit ‘sue’ kesialan, terdapat beberapa aspek penting dari 

perceived benefits yang dapat diidentifikasi dan dianalisis. Dari analisis ini, jelas bahwa 

perceived benefits memainkan peran krusial dalam praktik pengobatan tradisional yang 

berhubungan dengan kepercayaan terhadap leluhur. Manfaat yang dirasakan oleh 

pasien, seperti peningkatan kesejahteraan emosional, kepercayaan pada proses 

penyembuhan, pemulihan keseimbangan energi, rasa perlindungan, dan koneksi 

dengan tradisi budaya, semuanya berkontribusi pada efektivitas dan penerimaan 

pengobatan tersebut.

Selanjutnya peneliti mewawancarai Willy sebagai seseorang yang pernah, dan 

akan menggunakan jasa seorang Lauya, dan sekaligus meminta tanggapan narasumber 

Willy mengenai bagaimana hasil yang didapati setelah melakukan proses pengobatan, 

sebagai berikut:

Saya rasa saya mendapat suatu musibah, saya merasa semakin putus asa setiap hari 

karena bengkak di kaki saya tidak kunjung sembuh meskipun telah mencoba berbagai perawatan medis. Awalnya, saya berharap bahwa gejala ini hanya 

sementara dan akan mereda dengan sendirinya, tetapi ketika waktu terus berlalu 

tanpa perbaikan, kekhawatiran dan ketidaknyamanan semakin membebani pikiran 

saya. Saya telah menjalani berbagai pemeriksaan dan mengikuti rencana 

pengobatan yang diresepkan oleh dokter, tetapi tidak ada yang berhasil. Kaki saya 

tetap bengkak, dan rasa sakitnya semakin tidak tertahankan. Dalam keputusasaan, 

saya memutuskan untuk mencari bantuan di luar dunia medis konvensional”. Salah

satu dari seorang keluarga merekomendasikan seorang Lauya yang katanya 

memiliki reputasi yang baik dalam membantu orang-orang dengan masalah 

kesehatan yang sulit dijelaskan secara medis. Meskipun awalnya saya ragu, namun 

dengan tiada pilihan lain, saya memutuskan untuk memberikannya kesempatan.

Bertemu dengan Lauya itu adalah pengalaman yang cukup menarik bagi saya. 

Mereka mendengarkan dengan seksama cerita saya tentang bengkak di kaki saya 

dan mengamati dengan teliti energi saya. Setelah melakukan sejumlah ritual dan 

pembersihan energi, saya merasa ada perubahan yang aneh terjadi di dalam diri 

saya. Pada awalnya, saya tidak yakin apakah perubahan itu nyata atau hanya 

halusinasi. Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai merasakan perbaikan 

yang nyata. Bengkak di kaki saya mulai berkurang secara bertahap, dan rasa 

sakitnya pun semakin berkurang13

’’.

Dari hasil wawancara dengan willy di atas, peneliti mendapatkan bahwa 

narasumber awalnya mengalami kesulitan dalam mencari kesembuhan melalui 

perawatan medis konvensional. Meskipun telah mencoba berbagai metode pengobatan 

yang diresepkan oleh dokter, namun tidak ada hasil yang memuaskan. Hal ini 

mencerminkan pengalaman yang umum di mana seseorang dapat mengalami 

kekecewaan terhadap pendekatan medis tradisional ketika menghadapi masalah 

kesehatan yang kompleks atau tidak dapat dijelaskan secara medis. Ketika narasumber 

memutuskan untuk mencari bantuan dari ahli spiritual, dia lalu  mengalami 

perbaikan yang signifikan. Ini menggambarkan bagaimana dalam banyak budaya dan 

tradisi, terdapat keyakinan yang kuat pada kekuatan penyembuhan spiritual atau 

alternatif.

warga  sering menghubungkan kesehatan dan penyembuhan dengan energi, 

roh, atau kekuatan gaib lainnya yang dapat memberikan manfaat yang tidak dapat 

dicapai melalui pendekatan medis konvensional. Pada kesempatan berikutnya 

narasumber juga bertanya kepada Akka dan Yenni bagaimana hasil yang didapati 

setelah melakukan pengobatan, sebagai berikut:

Lauya lalu  menawarkan beberapa saran dan memberikan saya beberapa 

amalan spiritual yang harus saya lakukan untuk membersihkan energi negatif yang 

mungkin telah mengganggu usaha saya. Dia juga memberikan saya beberapa kata￾kata penyemangat dan membimbing saya untuk tetap bersikap positif. Meskipun 

saya tidak memiliki banyak uang untuk membayar jasanya, sang ahli spiritual 

menerima apa pun yang saya bisa berikan dengan hati terbuka. Saya sangat 

berterima kasih atas kemurahan hatinya. Saat saya meninggalkan tempat itu, saya 

merasa ada beban yang terangkat dari bahu saya. Meskipun saya tidak tahu apakah 

semua yang dikatakan oleh sang ahli spiritual akan berhasil, tetapi setidaknya saya merasa telah melakukan segala yang saya bisa untuk mencoba memperbaiki 

keadaan. Beberapa minggu lalu , perlahan-lahan, keajaiban mulai terjadi. 

Pembeli-pembeli kembali ke kios saya, dan omset saya mulai meningkat. Saya 

merasa seperti ada kekuatan baru yang telah mengalir ke dalam usaha saya, dan 

saya bersyukur atas bantuan yang telah saya terima dari Lauya.

14

Hasil analisis bersama lima narasumber, langkah untuk pergi ke seorang Lauya 

diambil sebagai upaya terakhir setelah berbagai usaha yang dilakukan narasumber 

untuk mengatasi masalahnya gagal. Keputusan ini tercermin dari persepsi narasumber 

terhadap manfaat yang mungkin didapat dari bantuan spiritual, yang mungkin tidak 

tersedia melalui upaya-upaya yang telah dilakukannya sebelumnya. Perceived benefit

dalam konteks ini adalah harapan atau keyakinan dari narasumber bahwa konsultasi 

dengan ahli spiritual dapat membawa perubahan positif dalam kehidupannya. 

Meskipun tidak ada jaminan keberhasilan, narasumber percaya bahwa ahli spiritual 

yang akan di kunjungi memiliki kemampuan atau pengetahuan yang dapat membantu 

mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Selama sesi dengan ahli spiritual, narasumber 

menerima saran dan panduan untuk melakukan amalan spiritual yang diharapkan 

membersihkan energi negatif yang mengganggu usahanya. Meskipun tidak jelas apakah 

upaya ini akan berhasil, narasumber merasa lega karena telah melakukan segala yang 

dia bisa untuk mencoba memperbaiki keadaannya. Perceived benefit dalam hal ini adalah 

rasa lega dan kepuasan batin yang narasumber dapatkan karena telah melakukan 

sesuatu untuk mengatasi masalahnya, meskipun belum tentu hasilnya langsung terlihat. 

Ketika pendapatan narasumber mulai meningkat setelah beberapa waktu, hal ini 

memperkuat keyakinan narasumber terhadap manfaat dari konsultasi dengan ahli 

spiritual. Meskipun tidak ada efek langsung yang dapat dibuktikan, narasumber 

percaya bahwa perubahan positif dalam usahanya adalah hasil dari upaya spiritual 

yang telah dilakukan, sehingga meningkatkan perceived benefit dari pengalaman 

tersebut.

4) Cues to Action

Cues to action, dalam psikologi kesehatan, merujuk pada faktor-faktor atau 

stimulus-stimulus tertentu yang mendorong seseorang untuk mengambil tindakan 

tertentu, terutama dalam konteks perubahan perilaku untuk mencapai tujuan kesehatan 

atau kebugaran. Namun, ketika kita mempertimbangkan konteks tradisi dan budaya, 

cues to action menjadi lebih kompleks karena berbagai norma, nilai, dan praktik budaya 

yang memengaruhi cara orang bertindak dan mempersepsikan informasi.

Dalam konteks ini, cues to action dapat muncul dalam bentuk perayaan budaya, 

seperti festival atau upacara adat yang menekankan pentingnya pola makan sehat atau 

aktivitas fisik. Selain itu, keluarga juga dapat berperan sebagai cues to action dalam 

banyak budaya. Misalnya, jika dalam sebuah keluarga nilai-nilai kesehatan sangat 

ditekankan, seperti rutin berolahraga bersama atau memasak makanan sehat bersama￾sama, maka lingkungan keluarga tersebut dapat menjadi sumber stimulus yang kuat 

untuk mengarahkan individu untuk mengambil tindakan yang mendukung kesehatan mereka. Selanjutnya, dalam beberapa budaya, agama atau spiritualitas memainkan 

peran yang signifikan dalam membentuk perilaku dan keputusan sehari-hari. Misalnya, 

dalam agama-agama tertentu, seperti Hinduisme atau Buddhism, praktik meditasi dan 

perenungan dapat dianggap sebagai bagian penting dari perawatan diri dan kesehatan 

mental. Dalam hal ini, ajaran agama atau spiritualitas dapat menjadi cues to action yang 

kuat bagi individu untuk mengambil langkah-langkah yang mendukung kesejahteraan 

mereka.

Dengan demikian cues to action dalam konteks tradisi dan budaya dapat berasal 

dari berbagai sumber, mulai dari praktik tradisional hingga nilai-nilai keluarga, agama, 

dan pengaruh media. Memahami bagaimana faktor-faktor ini saling berinteraksi dan 

memengaruhi perilaku individu adalah kunci dalam merancang intervensi yang efektif 

untuk mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan di berbagai komunitas budaya.

Berikut adalah hasil wawancara peneliti bersama Aliang, Lauya:

Pai-pai adalah sebuah tradisi yang berasal dari budaya Tionghoa yang telah menjadi 

bagian penting dari kehidupan sehari-hari di banyak komunitas Tionghoa di dunia. 

Istilah "Pai pai" sendiri memiliki arti berdoa atau dalam bahasa Tionghoa. Tradisi ini 

berkaitan erat dengan konsep keberuntungan dan keberkahan yang diyakini dapat 

membawa keberuntungan dan kebahagiaan kepada mereka yang melakukannya 

dengan sungguh-sungguh.

1

Dari hasil wawancara bersama Aliang, peneliti dapat disimpulkan bahwa Tradisi 

Pai pai dapat dianggap sebagai serangkaian cues to action yang mempengaruhi perilaku 

individu dalam menciptakan kondisi yang diharapkan membawa keberuntungan dan 

kebahagiaan dalam kehidupan mereka. Dalam konteks ini, berbagai aspek tradisi, 

seperti membersihkan rumah, menggunakan simbol-simbol keberuntungan, dan

mengikuti ritual tertentu, bertindak sebagai stimulus yang mendorong individu untuk 

mengambil tindakan tertentu. Dengan demikian, dalam konteks cues to action, tradisi pai 

pai dapat dipandang sebagai serangkaian stimulus atau petunjuk yang membantu 

membentuk dan mengarahkan perilaku individu dalam upaya menciptakan kondisi 

yang diharapkan membawa keberuntungan dan kebahagiaan dalam kehidupan mereka.

Ada, yaitu tradisi bakcang, tradisi hari Bakcang bukan hanya tentang memakan 

makanan khas atau mengikuti ritual kuno, tetapi juga tentang memperingati sejarah 

dan menghormati leluhur, serta tentang memperkuat ikatan komunitas dan


merayakan warisan budaya yang kaya. Dalam konteks keberuntungan, memakan 

bakcang dianggap membawa keberuntungan dan keselamatan bagi mereka yang 

melakukannya dengan sungguh-sungguh, sambil menghargai nilai-nilai budaya 

dan spiritual yang terkandung dalam tradisi tersebut.

Hasil wawancara peneliti bersama Acin, peneliti dapat menyimpulkan dalam 

konteks sosial dan budaya. Dengan demikian, narasi tentang tradisi Hari Bakcang 

menunjukkan bagaimana praktik-praktik budaya dapat bertindak sebagai cues to action

yang memengaruhi perilaku individu dalam merayakan tradisi dan mencari 

keberuntungan. Praktik-praktik tersebut tidak hanya menciptakan kesempatan untuk 

memperkuat ikatan komunitas dan merayakan warisan budaya, tetapi juga memberikan 

kesempatan bagi individu untuk memperoleh makna spiritual dan harapan akan 

keberuntungan dalam kehidupan mereka. Berikutnya adalah hasil wawancara bersama 

narasumber Willy:

Sebagai contoh, cerita-cerita nenek moyang kami seringkali mencakup kisah-kisah 

tentang bagaimana perilaku tidak sopan atau tidak hormat terhadap leluhur atau 

entitas gaib dapat mengakibatkan malapetaka atau kutukan bagi keturunan mereka. 

Oleh karena itu, menjaga kesopanan dianggap sebagai cara untuk melindungi diri 

dari bahaya supranatural dan memastikan keberuntungan dan keberkahan dalam 

kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tradisi kesopanan dalam budaya saya 

tidak hanya berfungsi sebagai norma sosial, tetapi juga sebagai bentuk 

perlindungan spiritual.

16

Dalam konteks budaya dan tradisi, praktik-praktik kesopanan yang diajarkan 

secara turun-temurun dalam keluarga narasumber bertindak sebagai serangkaian cues 

to action yang memengaruhi perilaku individu dalam interaksi sehari-hari. Misalnya, 

ketika seseorang dibesarkan dengan nilai-nilai kesopanan yang kuat, seperti 

mengucapkan salam kepada orang tua dan tetua, atau menghormati orang lain di 

sekitarnya, hal-hal ini bertindak sebagai cues to action yang memicu mereka untuk 

berperilaku dengan cara yang sopan dan menghargai.

Selain itu, dalam konteks tradisi, cerita-cerita nenek moyang tentang hubungan 

antara kesopanan dan dunia supranatural berfungsi sebagai cues to action yang 

mengarahkan individu untuk mempraktikkan perilaku yang sesuai dengan norma￾norma budaya dan spiritual. Ketika seseorang mendengar tentang konsekuensi buruk 

yang mungkin terjadi karena perilaku tidak sopan atau tidak hormat terhadap roh atau 

leluhur, hal itu memicu mereka untuk berhati-hati dan memperhatikan perilaku 

mereka, baik dalam interaksi sosial maupun dalam menjaga hubungan dengan alam 

supranatural.

Berikutnya narasumber bertanya kepada Akka terkait apakah ada ritual atau 

tradisi dalam budaya anda yang berfungsi sebagai pengingat untuk menjalani kesehatan 

secara rutin: “Sama seperti cerita saya sebelumya dik, Adapun ritual biasanya kita berdoa di pe’kong. 

Meminta keberkahan serta kesehatan bagi seluruh keluarga.”17

Pemaparan narasumber ini menekankan pentingnya ritual doa di Pe’kong sebagai 

pemicu utama. Tempat ibadah ini menjadi fokus kegiatan spiritual, dimana warga berkumpul untuk berdoa. lalu  tradisi dan kebiasaan dapat menjadi faktor, apa 

yang narasumber lakukan merupakan bagian dari tradisi dan kebiasaan yang telah 

berlangsung lama, memberikan rasa keteraturan dan stabilitas dalam kehidupan 

komunitas.

Meminta keberkahan dan kesehatan bagi seluruh keluarga merupakan tujuan 

tindakan ini. Ini memberikan motivasi yang kuat karena menyangkut kesejahteraan dan 

kesehatan orang-orang yang dicintai. lalu  ada harapan kolektif, tindakan doa 

bersama ini menciptakan harapan kolektif dan memberikan rasa kebersamaan dalam 

menghadapi tantangan hidup.

4.

Artikel ini menyoroti keberadaan Lauya sebagai praktisi pengobatan alternatif di 

kalangan etnis Tionghoa di Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, lasungai  Barat. 

Temuan utama menunjukkan bahwa Lauya masih memegang peranan signifikan dalam 

praktik pengobatan alternatif di komunitas etnis Tionghoa setempat. Kelangsungan 

tradisi ini didorong oleh kuatnya kepercayaan akan efektivitas pengobatan serta 

keterikatan budaya yang mendalam. Lebih dari sekadar metode penyembuhan, Lauya 

juga berfungsi sebagai simbol identitas budaya yang memperkuat solidaritas 

komunitas.

Analisis menggunakan health belief model (HBM) membantu menjelaskan alasan 

warga  mempertahankan dan mempraktikkan sistem pengobatan tradisional 

berbasis spiritual ini. warga  memandang kerentanan terhadap penyakit melalui 

kacamata tradisi dan budaya, yang terkait dengan kepercayaan spiritual seperti 

ketidakseimbangan Yin dan Yang, lima elemen dalam tubuh, serta pengaruh makhluk 

astral (perceived susceptibility )Pandangan tentang tingkat keparahan penyakit mencakup 

aspek budaya, sosial, dan spiritual, di mana penyakit dianggap dapat menyebabkan 

gangguan serius hingga kematian jika disebabkan oleh gangguan energi negatif atau 

sebagai akibat karma dan hukuman spiritual. Dampak penyakit terhadap keluarga dan 

mata pencaharian juga meningkatkan persepsi ini (Perceived Severity). Pengobatan Lauya 

dirasakan memberikan manfaat menyeluruh, meliputi penyembuhan fisik sekaligus 

kesejahteraan mental, emosional, dan spiritual. Lauya dianggap sebagai perantara dunia 

fisik dan spiritual yang mampu mengusir kesialan dan memulihkan keseimbangan 

energi. Praktik ini sering menjadi pilihan ketika pengobatan medis konvensional kurang 

berhasil, dengan biaya yang lebih terjangkau serta memberikan kepuasan batin bagi 

pasien (Perceived benefits).Tradisi budaya, ritual doa, serta penghormatan terhadap 

leluhur dan entitas spiritual menjadi pemicu penting dalam mendorong warga  

mencari pengobatan Lauya (Cues to Action).